Inilah awal kisah yang memilukan dari anak – anak Palestina.
Jumlah anak – anak Gaza diperkirakan lebih dari separuh total 1,4 juta
jiwa warga Palestina. Setiap 1000 orang korban, maka jumlah korban
dalam insiden perang bisa mencapai 200 anak. Maka, bisa ditebak jumlah
presentasinya, bukan ? Alangkah kasihan posisi anak – anak di medan
perang.
Suatu hari, ada seorang anak yang
menyaksikan kematian ibunya ketika terkena percikan bom dari Zionis
Israel. Ia melihat dengan mata kepala sendiri. Hari itu tanggal 27
desember 2008, seorang anak menjerit histeri karena dari dalam rumah ia
melihat ibunya terkapar di luar rumah. Sang ibu, bermaksud ingin
mengambil sepeda kesayangan anaknya. Sebenarnya, sepeda itu sudah tak
utuh dan sudah rusak namun masih tetap bisa dipakai, meskipun dalam
kondisi yang lumayan memprihatinkan. Ternyata, begitu sang ibu ingin
menyelamatkan sepeda itu, dan memang situasinya sudah sangat genting
karena hari itu adalah hari pertama perang, ia justru meninggal dunia.
Rupanya lemparan bom fosfor dari udara tak terelakkan mengenai dirinya.
Memang, itu hanya sebagian dari percikan bom fosfor namun ternyata
berakibat fatal bagi dirinya.
Setelah terkena bom fosfor itu, ia
terkapar dan tak bergerak lagi. Bagian dada ibu itu hancur. Dari balik
kaca di dalam rumah, sang anak tunggalnya yang masih berumur 8 tahun
melihat pemandangan ibunya yang terkapar. Ayah anak itu belum ketahuan
diaman berada, yang jelas ia sedang keluar rumah. Namun bisa diduga
sang ayah juga sedang dalam kondisi siap berperang.
“Ibu….,” suara Assad, sang anak itu, memanggil dalam bahasa Arab, Suaranya tercekat.
Tiada kehidupan yang tampak menggeliat
di luar rumah anak itu, selain pemandangan efek bom fosfor di halaman
rumah. Apa mau dikata, warna putih yang dalam dongeng ditafsirkan
sebagai warna malaikat, kenyataannya saat itu sang anak tidak bisa
berimajinasi lagi bahwa yang dilihatnya adalah malaikat. Jika sehari –
harinya anak itu begitu nyaman mendengan suara adzan berkumandang dari
sisi – sisi mana pun arah kampung halamannya, namun mulai hari itu ia
tak lagi karib dengan suara adzan.
Anak itu, tentu saja tidak berani
keluar rumah. Barulah beberapa saat kemudian, sang ayah pulang. Masih
dari dalam rumah, si anak memandangai sang ayah yang memasuki rumah
sembari menggendong istrinya. Dibelakang rumah, akhirnya si ibu
dikuburkan secara sederhana. Si anak pun, setelah diberi bekal makan
secukupnya, disuruh bersembunyi ke rumah tetangga bersama – sama anak –
anak tetangga yang sudah cukup dewasa, yaitu bersembunyi di sebuah
bungker. Sang ayah pun memutuskan untuk ikut berperang.
0 komentar:
Posting Komentar